Udara sejuk. Kabut menyelimuti jalan setapak di sekeliling mulut Kawah Ratu. Bau belerang menguar samar. Di dasar kawah asap mengepul.
Berjalan kaki sekitar 45 menit melewati hijaunya hutan, pengunjung bisa menikmati kolam air panas di Kawah Domas. Ratusan orang, kebanyakan pelancong dari Arab, pagi itu merendam kaki dan membaluri tubuh dengan lumpur belerang.
Tempat itu dengan mudah bisa dicapai pengunjung dengan berkendara sekitar 30 kilometer dari Kota Bandung. Limpahan pengunjung itu menghidupi tak kurang dari 1.000 pedagang, pemandu wisata, dan juru foto. ”Tahun 1980-an hanya ada belasan pedagang di sini,” kata Dadan (30), seorang pedagang.
Warga Cikole, Lembang, Bandung Barat, itu sudah 10 tahun berjualan belerang cair di sekitar Kawah Ratu. Setiap hari dia bisa menjual 3-15 botol belerang dengan pendapatan Rp 10.000-Rp 50.000. Botol-botol belerang cair itu digelar di atas lembaran kain berikut kertas bertuliskan khasiat belerang untuk menyembuhkan penyakit kulit. Ade Cahyadi (57), mertua Dadan, yang mengambil belerang itu dari Kawah Domas.
Dadan dan Ade mengaku tak takut dengan ancaman Tangkubanparahu. Seperti sejumlah pedagang lain, keduanya yakin gunung itu akan mengirim tanda sebelum meletus sekaligus sebagai peringatan bagi pengunjung, pedagang, dan warga. ”Pengalaman 26 tahun di sini baik-baik saja,” kata Ade.
Sarmi (70), pedagang jagung bakar yang meneruskan usaha Oyoh (almarhum), bapaknya, juga merasa aman berjualan di kawasan Tangkubanparahu. ”Lumayan, sehari bisa jual 5-20 jagung, paling sedikit dapat Rp 40.000 per hari,” kata warga Cikole itu.
Dadan, Ade, dan Sarmi mengaku pernah diminta waspada dan dilarang berjualan sementara. ”Namun, selama saya jualan di sini, peringatan waspada hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari,” kata Ade.
Letusan purba
Walau kini relatif tenang, Tangkubanparahu menyimpan sejarah letusan dahsyat. ”Gunung Tangkuban yang sekarang muncul sebagai tahap paling muda dari kompleks gunung api Sunda purba,” kata Mochammad Nugraha Kartadinata, geolog dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Siang itu, Nugraha menunjukkan jejak kedahsyatan letusan Gunung Sunda purba melalui singkapan endapan awan panas setebal lebih dari 10 meter di permukiman padat di Kampung Andir, Desa Gudang Kahuripan, sekitar 7,5 kilometer dari Tangkubanparahu. ”Kaldera Sunda terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Sunda 105.000 tahun lalu. Letusan itu menghasilkan endapan awan panas dengan volume 66 kilometer kubik dan menutupi area lebih dari 200 kilometer persegi,” katanya.
Tangkubanparahu tumbuh dalam Kaldera Sunda 90.000 tahun lalu. Bentuk kerucut lancip gunung itu terdiri dari selingan antara endapan awan panas dan aliran lava. ”Itu menandakan adanya letusan antara eksplosif dan efusif bergantian,” katanya.
Dalam perkembangannya, Gunung Tangkubanparahu memiliki tiga kawah utama, yakni Paguyangan Badak yang berumur 90.000-40.000 tahun lalu. Aktivitas gunung kemudian berpindah dan terbentuk Kawah Upas pada 40.000-10.000 tahun lalu. Akhirnya, aktivitas berpindah ke Kawah Ratu, 10.000 tahun lalu sampai sekarang.
Tangkubanparahu meletus hebat sekitar 40.000 tahun lalu, menghasilkan aliran lava berkomposisi basal yang terutama mengalir ke arah timur laut. Aliran lava ini menutupi area seluas 189 kilometer persegi dengan kedalaman rata-rata 10 meter. Saat ini, potensi letusan Tangkubanparahu relatif kecil.
Mitos dan bentang alam
Bagi Nugraha dan para geolog lain, Tangkubanparahu merupakan obyek geologi yang sejarahnya menarik untuk dikaji, sekaligus mengetahui potensi letusannya di masa depan. Apalagi gunung ini tak jauh dari Kota Lembang dan Bandung yang padat penduduk.
Bagi masyarakat Sunda, bentang alam Tangkubanparahu telah menjadi bagian dari budaya mereka sejak lama. Ini terlihat dari dongeng tentang Sangkuriang dan terbentuknya Gunung Tangkubanparahu.
Konon, Gunung Tangkubanparahu terbentuk dari perahu yang terbalik. Sangkuriang marah karena gagal menikahi ibunya, Dayang Sumbi. Ia lantas menendang perahu yang tengah dibuatnya sebagai syarat untuk menikahi Dayang Sumbi. Telaga yang dibuat Sangkuriang untuk berlayar itu kemudian menjadi Danau Bandung.
Geolog Belanda, RW Van Bemmelen, dalam bukunya, The Geology of Indonesia (1949), mencoba mengaitkan antara dongeng Sunda dan bentang alam. Dari legenda-legenda itu, Bemmelen menduga, nenek moyang orang Sunda tua menyaksikan meletusnya Gunung Sunda. Menurut Bemmelen, mengutip ahli bahasa Belanda, CC Berg, kata ”sunda” berasal dari kata Sanskerta chudda yang berarti ’murni’ atau ’putih’.
”Fakta geologi, selama erupsi Tangkubanparahu, area di sekitarnya tertutup lapisan abu putih setebal 40 meter. Warna putih itu kontras dengan lanskap Priangan yang hijau,” kata Bemmelen. ”Akhirnya jadi kebiasaan untuk menyebut Priangan dengan sunda, yang berarti ’putih’. Orang Portugis dan Belanda kemudian menggunakan nama Sunda untuk menyebut kawasan barat Jawa.”
Paduan antara keindahan alam, dongeng populer, dan akses yang gampang membuat Tangkubanparahu menjadi ikon wisata Jawa Barat. Gunung ini memberi pemasukan rata-rata Rp 2,5 miliar per tahun. Legitnya potensi ekonomi ini membuat pengelolaan gunung ini pernah diperebutkan.
sumber: http://regional.kompas.com/read/2012/03/23/08414469/Tangkubanparahu.Gunung.Kehidupan
0 komentar:
Posting Komentar